PENYAKIT INFEKSIUS PADA KAMBING DAN DOMBA

PENYAKIT INFEKSIUS PADA KAMBING DAN DOMBA

Peste des Petits Ruminant / Pseudorinderpest Kambing dan Domba, Pest of Sheep and Goat, Stomatitis Pneumoenteritis Syndrome, Goat Plaque, Contagious Pustular Stomatitis dan Pneumoenteritis Complex

1. ETIOLOGI

Penyakit PPR disebabkan oleh virus Peste des Petits Ruminant, merupakan single stranded RNA, mempunyai haemaglutinin dan termasuk dalam family Paramyxoviridae, genus Morbilliviruses (Lamb & Kolakofsky 1996; Chauhan et al. 2009). Saat ini, virus PPR memiliki empat galur (lineage), galur 1-3 mendominasi Afrika dan Timur Tengah, sedangkan galur 4 mendominasi Asia (Dhar et al. 2002; Muthuchelvan et al. 2006). Penyakit ini juga dikenal dengan nama pseudo rinderpest kambing dan domba, pest of sheep and goat, stomatitis pneumoenteritis syndrome, goat plaque, contagious pustular stomatitis dan pneumoenteritis complex (Nargesi et al. 2012).

2. VIRUS PPR

Virus PPR termasuk dalam genus morbilliviruses dari keluarga Paramyxoviridae (Gibbs et al. 1979; Lamb & Kolakofsky 1996) dan dalam genus ini juga termasuk enam virus lainnya yaitu, measles virus (MV), rinderpest virus (RPV), canine distemper virus (CDV), phocid morbilliviruses (PMV), porpoise distemper virus (PDV) dan dolphin morbilliviruses (DMV). Semua virus ini berbagi organisasi genom yang sama meskipun panjang RNA nya sedikit berbeda (Barrett et al. 2006). Visualisasi dengan mikroskop elektron menunjukkan virus-virus morbilli mempunyai struktur khas dari Paramyxoviridae yaitu partikel pleomorfik dengan amplop lipid yang membungkus nukleokapsid heliks (Gibbs et al. 1979). Virus morbilli mempunyai genom yang linear, tidak bersegmen, RNA beruntai tunggal dan berorientasi negatif dengan panjang genom sebesar 15-16 kb dan 200 nm diameter (Norrby & Oxman 1990). Dari genom ini, materi virus menghasilkan delapan protein yaitu nukleokapsid protein (N), phosphoprotein (P), protein matriks (M), protein fusi (F), protein hemaglutinin (H) dan protein polimerase besar (L) serta dua protein aksesori nonstruktural.

Pada lingkungan, virus ini termasuk dalam kelompok yang tidak tahan panas. Pada suhu 50°C selama 60 menit, virus akan mati, sedangkan dalam bentuk jaringan beku atau suhu dingin, virus PPR dapat bertahan untuk waktu yang lama. Virus tidak dapat bertahan dalam lingkungan dan sensitive terhadap pelarut lemak, serta mempunyai waktu paruh 2,2 menit pada suhu 56oC dan 3,3 jam pada suhu 37oC (Lefèvre & Diallo 1990; Chauhan et al. 2009). Virus ini stabil pada pH 5,8 hingga 10,0 dan inaktif pada pH kurang 4,0 atau lebih besar 11,0. Selain dengan perubahan pH, virus ini juga dapat didesinfeksi dengan beberapa macam disinfektan seperti alkohol, deterjen fenol, eter atau natrium hidroksida 2%.

3. HEWAN PEKA

Infeksi PPR dapat menyerang ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan ruminansia liar lainnya seperti Dorcas gazelle (Gazelle dorcas), Thomson’s gazelles (Gazella thomsoni), Nubian ibex (Capra ibex nubiana), Laristan sheep (Ovis gmelina laristanica) dan Gemsbok (Oryx gazella). Kambing lebih dominan terinfeksi PPR dibandingkan dengan domba, meskipun kepekaan terhadap bangsa kambing ikut berperan dalam menimbulkan gejala klinis (Abu Elzein et al. 2005; Diop et al. 2005; Albayrak & Gür 2010). Walaupun domba kurang peka, kematian pada domba lokal dapat mencapai 25% di India (Shaila et al. 1996). Hewan liar dapat terinfeksi virus PPR dan menimbulkan gejala klinis, namun peranannya dalam menyebarkan penyakit PPR masih belum diketahui dengan pasti (Bao et al. 2011).

Penelitian pada American white-tailed deer (Odocoileus virginianus) terbukti sangat sensitive terhadap infeksi PPR (Abu Elzein et al. 2005; Diop et al. 2005; Osman et al. 2009). Berlainan dengan ruminansia kecil, infeksi PPR pada sapi, kerbau dan babi bersifat asymptomatik dan tidak dapat menularkan penyakit, meskipun berada di daerah wabah (Abraham et al. 2005; Khan et al. 2008; Albayrak & Gür 2010). Selain itu, antibodi dapat terdeteksi pada unta dan hewan tersebut juga diketahui sangat sensitif terhadap PPR (Abraham et al. 2005; Albayrak & Gür 2010; Khalafalla et al. 2010). Domba jantan dan berumur lebih tua berpeluang lebih besar terinfeksi PPR dibandingkan dengan betina dan umur muda dan hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Singh et al. (2004b) dan Waret-Szkuta et al. (2008). Sementara hasil pengamatan Zahur et al. (2009) melaporkan bahwa morbiditas yang tinggi lebih banyak ditemukan pada domba anak umur di bawah 3,5 bulan di daerah wabah PPR. Penelitian Mahajan et al. (2012) melaporkan bahwa prevalensi reaktor PPR pada domba umur lebih dari satu tahun lebih besar dibandingkan dengan di bawah satu tahun. Maternal antibody terhadap virus PPR pada anak domba, dapat bertahan hingga empat bulan.

4. GEJALA KLINIS

Dilaporkan, penyakit ini menyebabkan angka kematian (mortalitas) dan morbiditas yang tinggi terutama pada kambing dan domba muda di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Lebih lanjut, penyakit ini dapat menjadi penghambat produksi ternak di daerah endemis (Albayrak and Gur, 2010; Nargesi et al., 2012; FAO 2016), sehingga penyakit PPR perlu mendapat perhatian serius, dan FAO Bersama OIE melakukan program eradikasi PPR.

Penyakit PPR banyak ditemukan di Afrika, negara Timur Tengah dan Asia (Khalafalla et al., 2010; Ayari-Fakhfakh et al., 2010; Wang et al., 2009). Di negara endemis PPR, peyakit umumnya terjadi di daerah yang lembab. Penyebarannya terjadi sangat cepat dalam satu flok ternak, terutama pada hewan muda dibawah umur 6 bulan. Morbiditasnya mencapai 90% dan mortalitasnya 30-70%. Tentunya hal ini dapat menyebabkan kerugian yang signifikan bagi peternak kambing dan domba (FAO, 2016; Swai et al., 2009).

Penyakit PPR mempunyai masa inkubasi 4-6 hari dengan variasi berkisar antara 3-10 hari (Couacy-Hymann et al. 2007a). Berdasarkan Office International des Epizooties (OIE) Terrestrial Animal Health Code, masa inkubasi PPR ditetapkan 21 hari untuk keperluan karantina. Secara umum, gejala klinis yang sering tampak antara lain demam tinggi, tidak nafsu makan, diare, lakrimasi dan konjungtivitis, ingusan hingga mukopurulen, gangguan pernafasan, benjolan pada kulit, ulser pada rongga mulut dan hidung. Pembengkakan limfoglandula mesenterikus sering tampak (Rajak et al. 2005). Namun, gejala yang muncul di lapang sangat tergantung dari stadium yang dihasilkan atau di daerah wabah. Derajat keparahan infeksi PPR sangat bergantung pada beberapa faktor, diantaranya strain virus, spesies hewan, bangsa dan status imun hewan yang terinfeksi (Couacy-Hymann et al. 2007b). Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian Couacy-Hymann et al. (2007b), yang mengemukakan derajat keparahan yang ditimbulkan sangat tergantung dari strain virus PPR meskipun masih dalam satu galur. Zahur et al.(2009) juga melaporkan bahwa domba di daerah Pakistan yang tidak divaksinasi menghasilkan morbiditas yang tinggi akibat terinfeksi PPR. Lebih lanjut, Khalafalla et al. (2010) melaporkan bahwa kematian dapat mencapai 100% pada stadium akut. Terdapat tiga bentuk atau stadium akibat infeksi PPR, yaitu bentuk akut, perakut dan subakut (Hammouchi et al. 2012). Umumnya, ternak akan mati 7-10 hari setelah menunjukkan gejala klinis. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa infeksi PPR pada kambing cenderung dalam bentuk akut, sedangkan infeksi pada domba dalam bentuk subakut hingga kronis (Obi et al. 1984; Swai et al. 2009).

4.1 Bentuk akut

Gejala klinis yang dihasilkan akibat infeksi PPR pada bentuk akut diantaranya demam secara mendadak, mencapai 40-41oC, yang menyebabkan hewan depresi, gelisah, hilang nafsu makan, dehidrasi dan bulu kusam. Demam dapat bertahan 3-5 hari dan menunjukkan ingusan mulai dari lendir yang bersifat sereus (encer) hingga mukopurulen (kental). Setelah demam empat hari, gusi mengalami hiperemi dan saat ini, ulser pada mulut mulai terjadi dan diiringi dengan hipersalivasi. Konjungtivitis, diare berdarah, batuk, sesak nafas, abortus sering terjadi pada stadium akut (Hammouchi et al. 2012). Pada hewan liar, gejala klinis berupa lakrimasi dan ingusan yang mukopurulen, diare parah dan kelemahan sering tampak (Bao et al. 2011).

4.2 Bentuk perakut dan subakut

Pada bentuk perakut, hewan mengalami deman tiba-tiba, depresi dan kemudian mati. Sedangkan pada stadium subakut, ingusan biasanya terjadi setelah enam hari demam. Kemudian suhu tubuh menurun dan saat ini sering disertai dengan diare parah, dehidrasi dan berakhir dengan kematian.

Gbr. 1 Hewan yang terinfeksi virus PPR menunjukkan sekret hidung (a), kongesti konjungtiva (b) dan endapan seperti dedak – ulserasi nekrotik kecil yang terpisah atau fokus pada selaput lendir (c)
Gbr. 2 Lesi post-mortem yang menunjukkan kongesti dan konsolidasi lobus paru-paru (a), pembesaran dan oedema pada kelenjar getah bening mesenterika usus, (b) dan usus besar yang menunjukkan garis kongesti dan perdarahan yang terputus-putus (tanda Zebra) pada lipatan mukosa (c)
Gejala klinis PPR yang diamati: a) Stomatitis erosif dan nekrotik, b) bantalan gigi bagian atas benar-benar tersembunyi oleh bahan seperti keju yang tebal, c) Ulserasi pada permukaan atas lidah, d) keluarnya cairan dari  hidung, sel-sel mati di permukaan lidah dan lesi pada bibir bawah, e) sekret hidung mukopurulen, dan f) lakrimasi

5. PENGOBATAN, PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT

Hewan yang sudah terinfeksi tidak dapat diobati, sehingga pengendalian dan penanggulangan penyakit ini harus dilakukan agar munculnya dan penyebaran penyakit ini dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi, menejemen beternak yang baik, karantina terhadap lalu lintas hewan dan penerapan biosekuriti yang ketat di peternakan. Biosekuriti bisa dilakukan dengan rutin melakukan semprot didalam kandang dengan preparat Alkyl dimethyl benzyl ammonium chloride (ISTAM) dengan dosis 450 ml untuk 100 M2. Untuk biosekuriti diluar area kandang bisa menggunakan preparat Phenol (PRIMAKLIN) dengan dosis 375 ml untuk 100 M2.

Karena PPR adalah penyakit virus, tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini. Pendekatan terapeutik pasca exposure untuk infeksi PPR tidak banyak disebutkan dalam literatur. Namun, pengobatan hewan yang terkena dengan pemberian antibiotik jenis Oxytetracycline long-acting (DUODIN-LA) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder dan obat anti diare telah dipraktekkan dengan terapi suportif (B-kompleks dan garam Dextrose) selama 5-7 hari, yang mungkin berguna untuk mengurangi keparahan penyakit. Pemberian roboransia seperti BIODIN, VITADIN-500 dan HEMATODIN juga diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak yang sedang mengalami sakit. Manajemen dan penanganan kasus klinis PPR atau jika terjadi wabah pada domba dan kambing sangat diperlukan guna meminimalisir kerugian ekonomi bagi peternak.

Antibiotik diberikan hanya untuk mencegah infeksi sekunder, tetapi tidak mengobati penyakit itu sendiri. Diare yang profus dapat diberi kaolin sebagai astringen dan pemberian infus dekstrosa atau salin. Lesi bibir dan ulserasi di rongga mulut dapat diberi cairan jeruk lemon dan rongga mulut dicuci dengan kalium permanganat sebagai disinfektan mulut. Sementara, kandang dan peralatan lainnya termasuk sepatu kandang disucihamakan dengan disinfektan yang sesuai (Narayanan et al. 2008).

Vaksinasi cukup efektif untuk mencegah terjadinya infeksi PPR, karena antibodi yang dihasilkan dapat bertahan cukup lama, hingga empat tahun (Chen et al. 2010). Vaksin yang telah beredar di pasaran saat ini terdiri dari virus yang telah dilemahkan (attenuated vaccine) dan vaksin rekombinan (Berhe et al. 2003; Buczkowski et al. 2012). Dibandingkan dengan pemberian virus hidup, pemberian virus PPR virulen menghasilkan imunosupresif yang ditandai dengan leukopenia, lymphopenia dan dapat mereduksi respon antibodi awal terhadap antigen yang spesifik maupun yang tidak spesifik, terutama pada fase akut (4-10 hari pascainfeksi) (Rajak et al. 2005).

Beberapa strategi kebijakan pengendalian penyakit yang dapat dilakukan antara lain deteksi dini penyakit, penetapan status lokasi wabah, isolasi dan pengendalian lalulintas hewan, stamping out dan depopulasi terbatas, dekontaminasi disposal, surveilans, penentuan zonasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. Apabila terjadi wabah penyakit PPR, maka otoritas veteriner di daerah bertanggung jawab melaksanakan pengendalian penyakit sesuai peraturan atau perundangan yang berlaku dan mengambil keputusan untuk tindak lanjut program pengendalian wabah setelah berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Hubungi Kami